Kamis, 12 Mei 2011

Cara Mengajarkan Anak Sopan Santun

Cara mengajarkan anak sopan santun terkadang kita bertanya bagaimana cara mengajarkan anak sopan santun melihat anak kita bertengkar baik dengan teman sebayanya bagaimana cara mengajarkan anak sopan santun, saudaranya, atau orang lain serta tidak mengakui kesalahannya. Nah, hal ini mungkin akan menjadi sebuah hal yang kurang sopan bagi anak kita, untuk itu, anda sebagai orangtua harus mengerti cara terbaik untuk membuat mereka lebih sopan santun. Terdapat beberapa langkah untuk orangtua agar dapat mengajari anaknya untuk lebih sopan terhadap orang lain. Anak Anda bertengkar dengan adik, sepupu, atau temannya, namun menolak mengakui kesalahannya? Atau, dia enggan meminta maaf? Hal ini memang biasa terjadi, namun Anda tak boleh membiarkannya. Anak perlu diajari untuk bersedia mengakui kesalahan dan meminta maaf.

“Manusia adalah gudangnya kesalahan,” begitu bunyi pepatah bijak. Namun demikian, bukan berarti meminta maaf atas kesalahan menjadi hal mudah, termasuk bagi anak-anak usia sekolah. Agar anak mau meminta maaf, berikut 6 langkah yang dapat orangtua terapkan pada anak.

1. Beri kesempatan pada anak untuk mengungkapkan masalahnya.
Galilah dari diri anak apa yang membuatnya tidak mau/menolak meminta maaf. Baik orangtua maupun guru harus bersikap netral, tidak berpihak kepada pelaku ataupun korban. Jika berpihak, dikhawatirkan pemulihan hubungan keduanya akan semakin sulit.

2. Tidak memaksa anak meminta maaf.
Sering dijumpai orangtua yang memaksa anaknya untuk minta maaf, ” Ayo, kamu minta maaf sekarang sama adik!” Sebetulnya, cara seperti ini tidak benar dan dapat menekan anak. Semakin dipaksa untuk meminta maaf, semakin sulit bagi anak untuk melakukannya. Karena paksaan merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan maka hal itu tak akan diulangi lagi. Atau, kalaupun mau, anak akan meminta maaf dengan terpaksa, tidak tulus.

3. Tumbuhkan empati pada anak.
Cara terbaik dengan menumbuhkan empatinya. “Kamu sudah memukul adik seperti itu. Coba, kamu pikirkan kalau kamu yang diperlukan seperti itu, bagaimana rasanya?” Mungkin anak tidak akan langsung menjawab atau berkomentar saat itu juga dengan mengatakan, “Tidak enak”, misalnya. Tapi setidaknya anak tahu, perbuatannya telah membuat orang lain menderita, terganggu, atau tersakiti.

Anda harus bisa memahami, perbuatannya itu tidak baik. Dia juga harus merasakan apa yang orang lain rasakan. Anak harus melihat dampak yang dia lakukan pada anak lain, bagaimana perasaan orang tersebut, dan sebagainya.

4. Berikan dorongan
Contoh, “Ibu akan senang kalau kamu mendengarkan keluhan orang lain dan kamu mau mengubah perilakumu. Ibu berharap kamu juga bisa meminta maaf atas perbuatan yang sudah kamu lakukan pada temanmu.” Harapan semacam ini tidak memberi kesan memaksa dan sok berkuasa, melainkan mengajari anak untuk bersikap terbuka dan membuatnya berpikir. Apalagi di usia ini anak sudah bisa diajak berpikir mengenai konsekuensi.

5. Kenalkan aneka cara meminta maaf
Ada berbagai cara meminta maaf, baik secara langsung maupun tidak. Ada yang lewat salaman tangan, rangkulan, sentuhan, dan cara lainnya, atau yang terbaru dengan SMS, e-mail, chat, komentar maaf di jejaring sosial seperti Facebook, Friendster, dan lain-lain.

Anak tahu mana yang paling tepat dan cocok. Biasanya dengan dibebaskan mengemukakan pendapatnya, anak akan menemukan banyak ide. Kecuali jika anak memang tak tahu caranya, maka orangtua mempunyai kesempatan untuk memberi masukan.

6. Beri toleransi waktu
Hindari menyuruh anak meminta maaf di saat itu juga. Orangtua memang harus menunggu hingga anak mau melakukannya dengan tulus tanpa terpaksa. Selanjutnya, jika anak sudah siap, orangtua bisa menjadi perantara, membantu anak untuk meminta maaf dan mendamaikan kedua anak yang berseteru.

Para ahli mengingatkan, ajari anak tata krama sedini mungkin. Jangan tunggu hingga anak besar karena bisa berabe. Bagaimana memulainya ?

Tentunya para orang tua akan bangga jika dikatakan bahwa anaknya sangat sopan. Namun sebaliknya, jika anaknya dicap sebagai tak tahu aturan, tentunya sebagai orang tuanya Anda sangat sedih, bukan? Bagaimana mengajari si kecil agar ia bisa berlalu sopan?

Menurut psikolog Hera L. Mikarsa, Ph.D , mengajari sopan santun atau tata krama sebaiknya dilakukan sejak dini. “Bisa dimulai sejak ia berusia 1 atau 1,5 tahun. Saat ia mulai mengerti. “Jadi, jangan tunggu hingga ia besar. Sebab kala ia sudah besar, tentunya ia sudah punya kebiasaan tertentu. Akan memakan waktu lama untuk mengubahnya.”

DARI YANG SEDERHANA

Juga, jangan karena menganggap ia masih kecil, lantas dianggap belum penting mengajarkan tata krama. Toh, nanti pelajaran tata krama dan budi pekerti akan didapatkannya saat duduk di bangku TK atau SD. Ini anggapan yang salah. “Sebab, ia belajar di TK juga hanya sebentar, sekitar dua jam. Apa cukup pelajaran budi pekerti dan tata krama yang ia peroleh? Lagi pula, semakin ia besar, semakin sulit hal ini diajarkan.”

Kalau sejak kecil tidak diajarkan norma-norma yang baik, bisa jadi kelak ia tumbuh menjadi anak tak tahu aturan. Misalnya, masuk ke rumah orang langsung berlarian ke sana-kemari. Membuka lemari es dan mengambil isinya seenaknya, seakan-akan itu adalah lemari es ibunya.

Namun Hera juga mengakui, tak tertutup kemungkinan si anak juga belajar dari lingkungan. Karena ia akan berpikir, ‘Kok, di rumahnya begini, sedangkan di rumah teman-temannya lain lagi’. “Dia merasa dengan cara temannya itu ternyata bisa diterima oleh masyarakat. Maka ia akan meniru cara yang lebih bisa diterima itu. Jadi kontrol sosial di sini sangat berperan.” Namun tetap yang paling baik adalah bila dari rumahnyalah pengajaran tata krama ini didapatnya.

Untuk anak batita, menurut dosen psikologi perkembangan UI ini, sebaiknya pengajaran tata krama dimulai dari kehidupan sehari-hari. Misalnya, membuang sampah harus di tempatnya, makan harus di meja makan, membaca tidak boleh sambil tiduran di lantai, sebelum makan harus cuci tangan dulu, dsb. Atau, kalau ia bertemu dengan tetangga, ajarkan ia bersalaman, mengucapkan terima kasih bila diberi oleh-oleh, dsb. “Jadi mulai dari hal-hal simpel yang terjadi dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga hal-hal simpel ini akan menjadi kebiasaan hingga ia besar nanti.”

Pola pengajarannya pun tidak bisa dengan wejangan atau nasihat. “Ia tak akan mengerti. Harus dengan contoh. Kalaupun harus dengan kalimat, ungkapkan dengan kalimat yang sederhana dan mudah dicerna mereka.” Nanti dengan bertambahnya umur, otomatis pemahamanannya semakin baik, sehingga mengajarkannya bisa lebih bervariasi.

Orang tua juga harus konsekuen. Jika ia mengajarkan anaknya harus makan di meja makan, tapi ia sendiri kalau makan sambil menonton teve, ya, tidak jalan. Orang tua pun harus melakukan apa yang diajarkan pada anaknya. “Sebab semakin besar anak, semakin kritis ia. Jika konsisten, hal ini akan jadi akar yang baik dari tingkah lakunya di masa datang.”

Juga, kalau ia menerapkan aturan sepatu tak boleh naik di atas sofa, jangan sampai lain kali diperbolehkan. Sebab, hal ini akan membingungkan si kecil. Kalaupun orang tua hendak membuat perkecualian, sebaiknya dijelaskan alasannya sehingga tak mengacaukan aturan yang sedang diterapkan.

Selain itu, si kecil juga belum tahu mengapa ia harus melakukan semua tata krama itu. Tugas orang tualah yang harus menjelaskan alasan di belakang aturan itu. Misalnya, mengapa ia harus mengucapkan kata ‘tolong’, ‘terima kasih’, atau ‘maaf’. Dengan demikian, ia punya motivasi untuk melakukannya.

Namun, sekali lagi, Hera mengingatkan bahwa ungkapan-ungkapan seperti ‘tolong’, ‘terima kasih’, atau ‘maaf’, tidak akan jalan kalau orang tuanya tidak membiasakannya atau tidak melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. “Karena ia tidak melihat contoh nyata. Jangan lupa, daya ingat si kecil masih terbatas, sehingga mereka gampang lupa. Kalau kita tidak mengajari dengan memberi contoh, ya, ajaran itu akan lewat begitu saja.”

Namun lain halnya jika si ibu biasa mengucapkan ‘terima kasih’ pada pelayan swalayan yang telah membantu mencarikan barang. Atau, mengucapkan ‘maaf’ ketika bertubrukkan dengan orang lain di lorong swalayan. Si kecil akan meniru perbuatan ini.

Selain itu, sebaiknya orang tua pun melakukan hal yang sama pada si kecil. Ucapkan kata ‘tolong’ ketika meminta ia mengambil sesuatu, dan ‘terima kasih’ sesudahnya. Juga kata ‘maaf’ kalau si orang tua tak sengaja menyenggol mainan si kecil. Dengan demikian anak akan merasa dihargai. Dan kelak ia pun akan menjadi anak yang dapat menghargai orang lain. Sebab, prinsip dasar mengajarkan sopan santun adalah menghargai hak dan perasaan orang lain.

CONTOH BURUK

Anak tidak hanya mencontoh dari orang tuanya. Bisa saja ia mencontoh dari pembantu atau televisi. “Kadang ada, kan, orang tua yang terkaget-kaget, kok, si kecil bisa berkata dengan kalimat tak senonoh. Ternyata setelah diselidiki, si kecil sering diajak main pembantu ke rumah tetangga. Dan sesama pembantu tersebut kalau saling bercanda atau berolok-olok memakai kalimat-kalimat yang kurang senonoh. Nah, kalimat-kalimat ini didengar oleh anak. Dan karena terbiasa mendengar kalimat-kalimat demikian, hal ini akan diadaptasinya. Walaupun sebenarnya ia tak mengerti arti kalimat tersebut. Begitu juga dengan kalimat-kalimat iklan di teve, hampir tak ada permintaan sesuatu disertai kata ‘tolong’. Tapi hanya mengatakan, ‘Ambilkan obat itu, dong.’Itu, kan, bukan contoh yang baik juga.”

Itulah pentingnya mendampingi si kecil saat ia menonton teve. Sehingga kalau ada iklan yang tidak sesuai dengan tata krama yang sedang diajarkan, si orang tua bisa menjelaskan. Bahwa yang baik bukan begitu. Sehingga anak tahu perbedaannya.

Bagaimana mensiasatinya jika ibunya bekerja? Ya, orang tua harus bekerja sama dengan pembantunya atau orang-orang yang menjaga anaknya. Beritahu juga bahwa sikap bagaimana yang dikhendaki si orang tua pada anaknya. “Cobalah cari pengasuh yang bisa mengajarkan tata krama pada anak. Kalau pengasuh ini tidak terdidik, tak ada salahnya, si orang tua mentraining pengasuh ini lebih dahulu. Dan berilah wewenang pada pengasuh, agar ia pun dapat bertindak tegas pada majikan kecilnya ini. Karena kadang si pengasuh tidak bisa tegas pada si kecil karena merasa tak bisa menolak permintaan si majikan kecil ini. Jadi, orang tua jangan lantas marah kalau pembantunya menegur si kecil

TEGURAN DAN PUJIAN

Orang tua juga harus terus mengingatkan. Karena si kecil daya ingatnya sangat terbatas. Sehingga ia mudah lupa atas larangan dan anjuran yang diterapkan. Jadi, jangan terkejut jika mereka banyak melanggarnya. Bersabarlah dan jangan bosan-bosan untuk terus mengingatkannya, sampai hal ini menjadi suatu kebiasaan.

Jika ia lupa mengucapkan kata ‘tolong’, tanyakan ‘coba apa kata ajaib yang harus diucapkan kalau meminta sesuatu pada orang lain?’ kalau ia tak bisa juga mengingatnya, jawablah sendiri kata tersebut sehingga ia sadar bahwa kata itu sangat penting. Dan kalau kebiasaan baik itu dibiasakan sejak kecil, kala dewasa akan dengan secara otomatis terucap.

Hasil didikan orang tua ini biasanya akan terlihat saat anak mulai bersosialisasi keluar. Dari situ baru kelihatan apakah ia bersikap sopan atau urakan. Dan karena di usia 2-3 tahun, si kecil juga mulai bermain di luar, orang tua sebaiknya juga mengajarkan tata krama untuk bergaul. Bagaimana ia harussharing saling menunggu giliran. Kalau Lebaran, anak diajarkan bersilaturahmi dan saling minta maaf. Juga diajarkan menghormati orang yang lebih tua. Misalnya, kepada yang tua, bersalamnya dengan cium tangan.

Hera mengakui bahwa anak kecil memang cenderung mengacak-acak rumah orang jika diajak bertamu. Nah, kalau sudah demikian, si orang tua harus mencegahnya. “Jangan didiamkan saja hanya karena merasa enggak enak memarahi anak di rumah orang. Menurut saya tak apa-apa saja anak kecil ditegur, tentunya dengan cara yangacceptable . Daripada ia merusak barang-barang orang lain, kan, lebih malu lagi. Pegangi dia dan dudukkan di sebelah orang tuanya. Kalau ia mulai berkeliaran lagi, segera hentikan.”

Jika hal ini tak efektif, misalnya ia tetap ingin memainkan barang-barang tuan rumah, segera angkat si anak dan pindahkan dia dari tempat yang menarik perhatiannya tersebut. “Alihkan segera perhatiannya, misalnya dengan memberinya mainan kesukaannya. Kalau barang tersebut tak terlihat olehnya lagi, maka biasanya akan segera hilang dari pikirannya.”

Orang tua juga sebaiknya menjelaskan tentang perbedaan aturan di rumah lain. Karena standar kesopanan satu keluarga dengan keluarga lain berbeda. Ada keluarga yang tidak membolehkan memakai sandal dan sepatu di dalam rumah. Sehingga alas kaki itu harus ditinggalkan di luar pintu. Keluarga lain justru membolehkan. “Justru orang tua harus menerangkan perbedaan ini. Untuk memperkaya wawasannya.”

Kalau anak tidak berlaku sopan, misalnya suka meminum minuman si tamu. “Nah, kita harus tegur ia secara tegas tapi lembut bahwa hal itu tidak boleh. Ia harus ambil minumannya di dalam.”

Teguran harus disesuaikan dengan usia dan pribadi anak. Ada anak yang sekali ditegur lantas sudah menangis, tapi ada anak yang cuek saja pada peringatan orang tuanya. “Namun umumnya, di usia batita ini, pelototan mata ibunya saja atau dengan kata-kata ‘Jangan! Awas! Tidak boleh begitu!’, sudah cukup.”

Kalau teguran ini tidak jalan, bisa ditingkatkan dengan ancaman. Misalnya, ‘kalau kamu masih terus begitu, nanti tidak boleh minum susu cokelat.’ Jadi hanya bersifat mengurangi kesenangannya. “Lebih baik tidak dilakukan hukuman fisik karena itu tidak efektif,” ungkap ketua program profesi Fak. Psikologi Universitas Indonesia ini.

Hera juga menyarankan bahwa teguran pada si kecil sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Segera setelah ia melakukan kesalahannya. Sehingga ia bisa menghubungkan hukumannya dengan perbuatannya. Kalau peneguran itu ditunda, misalnya menunggu hingga di dalam rumah, ia sudah lupa. “Anak kecil cepat melupakan suatu peristiwa. Kalau kita menegurnya atau menghukumnya di lain kesempatan, ia akan bingung, ‘Salah saya apa, sehingga Ibu menghukum saya’. Tapi kalau saat itu juga ditegur, ia akan mengerti, ‘Oh, Ibu tidak suka kalau saya melakukan hal ini.’”

Namun Hera juga mengingatkan bahwa anak seusia batita masih spontan. Kata-katanya kadang begitu terus terang, sehingga kadang ada kata-katanya yang menurut orang tua sangat tidak sopan. Misalnya, ‘Lo, tas Tante, kok, gendut kayak perut Tante.’ “Hal ini biasanya dilakukan tanpa kesengajaan. Hanya karena spontanitas yang biasanya menjadi ciri anak-anak.” Yang disengaja adalah, jika mereka mengucapkan kata-kata tak senonoh untuk mengejek. Misalnya mengolok-olok temannya, dsb. “Tapi biasanya ini terjadi

pada anak di atas usia batita. Kalau anak batita lebih ke tak sengaja.” Kalau sudah demikian, tugas orang tualah yang harus terus mengarahkan si kecil.

Tentunya penghargaan pun harus diberikan padanya jika ia bisa memenuhi standar orang tuanya. Misalnya, kala ia tanpa disuruh dengan sendirinya mengucapkan ‘terima kasih’ pada si tetangga yang memberinya sesuatu. Nah, berilah hadiah. Hadiah ini tidak hanya berupa barang, tapi pujian, pelukan, belaian, elusan di kepalanya pun sudah sudah cukup. “Sebab kalaurewards ini berupa barang, jangan-jangan anak akan berbuat baik hanya agar dapat hadiah saja.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar